Ketika Kresna diliputi Dendam


Pamor kemegahan Indraprasta sebagai ibukota negeri Amarta memancar ke berbagai belahan dunia pewayangan. Kaum elite-nya begitu terhormat dan disegani. Dalam berbagai forum internasional negeri pewayangan, pendapat Yudistira sebagai sang presiden dijadikan rujukan dan kiblat penguasa negeri lainnya. Kepribadiannya yang tenang, wibawa, dan rendah hati kian memancarkan keagungan seorang presiden abad ke-21 di tengah bejibunnya pemimpin dunia yang congkak dan keras kepala. Banyak yang tak menduga kalau Amarta bisa berkembang begitu cepat; dari belantara hutan Kandawaprasta yang angker dan berwajah menyeramkan mendadak berubah menjadi negeri yang modern dan ramah. Para kawulanya hidup tenteram di bawah naungan penguasa yang –untuk sementara waktu– peduli, merakyat, dan tidak korup. Para elite-nya yang mampu menghindar dari gaya hidup berlewah dan bermewah-mewah benar-benar menjadi teladan bagi aparat, birokrat, dan rakyat. Sungguh kontras dengan negeri Astina yang terjebak menjadi sebuah negeri yang korup dan terlilit jeratan kemiskinanyang merajalela.

Meski demikian, Yudistira agaknya juga tak sanggup menahan godaan untuk menjadi penguasa yang narsis dan haus kehormatan. Para menteri dan segenap pembantunya terus berupaya meniupkan bujuk-rayu agar dia menggelar upacara rajasuya guna mendapatkan predikat sebagai Maharajadiraja Sesembahan Agung. Sesungguhnya, Yudistira sudah merasa cukup menjadi presiden bersahaja dan sebisa mungkin bisa selalu dekat dengan kawulanya. Namun, kuatnya desakan dari kanan-kiri, agaknya membuat Yudistira tak berkutik. Lebih-lebih setelah Krisna, presiden Dwarawati yang begitu dihormati, juga memberikan masukan dan desakan serupa.

“Pak Yudis, tidak pantas rasanya menolak masukan dari para menteri Amarta,” kata Kresna dengan vokal berwibawa. Sorot matanya tajam dengan gerakan bahasa tubuh yang meyakinkan dalam sebuah pertemuan di ruang yang sejuk ber-AC suatu ketika. Para menteri menunduk takzim sembari sesekali mengangguk-anggukan kepala. Yudistira terdiam. Dadanya turun-naik. Mereka hanya punya keinginan untuk mewujudkan Amarta yang agung. Semua itu bisa terwujud sepanjang Amarta sanggup menaklukkan Jarasanda. Kenapa demikian? Sampeyan tahu, saat ini dunia seperti ada dalam genggamannya. Presiden dan perdana menteri yang kondang dan hebat bisa dia taklukkan. Saya pun terpaksa mengakui kekalahan ketika masih hidup di Madura sebelum akhirnya mutasi ke Dwarawati,” lanjutnya. Suasana ruang ber-AC mendadak terasa memanas. Tensi darah kian meninggi. Para menteri saling berpandangan. Yudistira berkali-kali memegang kepalanya sembari garuk-garuk.

“Sesungguhnya saya sudah merasa cukup duduk di kursi kekuasaan tanpa ambisi berlebihan. Saya pikir akan menjadi sebuah kesia-siaan apabila Amarta yang Agung dibangun dengan darah dan kekerasan. Saya tak akan bisa hidup tenang apabila Amarta harus porak-poranda akibat keperkasaan Jarasanda. Pak Kresna yang hebat pun bisa ditaklukkan Jarasanda, apalagi Amarta yang baru seumur jagung,” sahut Yudistira tersendat-sendat. Dadanya kembali turun-naik. Namun, buru-buru Bimasena yang sedari tadi hanya terdiam menyergahnya. Dia memang dikenal bertemperamen keras dan suka tantangan baru.

“Ambisi adalah kebajikan teragung seorang presiden. Apa gunanya menjadi orang kuat kalau tidak tahu kekuatan sendiri? Aku tak tahan hidup dengan membatasi diriku, bermalas-malasan, dan cepat puas diri. Barang siapa dapat menanggalkan kelemahan, dan secara tepat mempergunakan siasat kekuasaan, pasti akan mampu menaklukkan mereka yang lebih kuat sekalipun. Kekuatan yang disertai siasat pasti berhasil. Apa yang tidak dapat dilakukan dengan gabungan kekuatan ragaku, kebijaksanaan Kresna, dan keterampilan Arjuna? Kita pasti dapat mengalahkan Jarasanda jika kita bertiga bersatu dan mengatur siasat tanpa ragu-ragu dan cemas,” sergah Bimasena dengan vokalnya yang berat dan berwibawa.

Merasa mendapat dukungan, Kresna tersenyum, sembari berkata, “Jarasanda harus dimusnahkan, karena ia memang menghendaki demikian. Kini, ia telah menawan 86 penguasa dari banyak negara. Kabarnya dia hendak mengorbankan 100 penguasa untuk upacara persembahyangan. Itu artinya, masih ada 14 penguasa lagi yang hendak diburunya. Jika Bimasena dan Arjuna setuju, saya akan menyertai mereka. Bersama kita bisa! Kita hancurkan Jarasanda dengan siasat, kemudian kita lepaskan semua penguasa yang dia tawan,” sela Kresna dengan nada optimis.

Yudistira masih belum merasa yakin dengan pernyataan-pernyataan yang terlontar dalam forum. Ia sudah merasa lebih dari cukup untuk membangun Amarta yang ada sekarang.

“Itu artinya, aku mesti mengorbankan Bimasena dan Arjuna, dua adik kesayanganku, hanya demi kepuasan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku tidak mau mengirim mereka untuk tugas berbahaya ini. Lebih baik kita lupakan saja rencana ini.”

Arjuna pun tak tinggal diam. Dengan suaranya yang lembut, dia menyela, “Apa gunanya kita terlahir sebagai keturunan kesatria perkasa jika tak pernah melakukan perbuatan jantan? Seorang ksatria tak akan pernah teruji sikap ksatrianya jika tak pernah menunjukkan kesaktian. Semangat adalah induk segala keberhasilan. Nasib baik akan berpihak pada kita jika kita lakukan tugas dan kewajiban dengan sungguh-sungguh. Orang kuat bisa gagal jika segan menggunakan kesaktian dan senjata yang dimilikinya. Sebagian besar kegagalan terjadi karena seseorang mengabaikan kekuatannya sendiri. Kita tahu kekuatan kita dan kita tidak takut untuk menggunakannya sebaik mungkin. Kenapa kita merasa seolah-olah tidak mampu? Kelak jika kita sudah tua, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengenakan jubah suci, masuk ke hutan pergi bertapa dan berpuasa untuk tujuan keagamaan. Sekarang kita masih muda. Kita harus mengisi hidup dengan tindakan-tindakan perwira sesuai dengan tradisi keturunan kita.”

Tatapan mata Kresna makin berbinar. Dukungan Bimasena dan Arjuna makin meyakinkan dirinya untuk segera melunaskan dendamnya terhadap Jarasanda yang pernah menaklukkannya. Dia pun menyela, “Apalagi yang harus dikatakan Arjuna, putra Dewi Kunti dan keturunan bangsa Bharata? Kematian akan tiba bagi setiap orang; tak peduli dia pahlawan atau pengecut. Tetapi kewajiban agung para ksatria adalah mengabdi pada bangsa dan keyakinannya serta menaklukkan musuh dalam perang demi memperjuangkan kebenaran.”

Lantaran sudah tak sanggup lagi berargumen, Yudistira akhirnya sepakat bahwa melenyapkan Jarasanda merupakan kewajiban mereka sebagai ksatria. Agar Yudistira makin mantab dan percaya diri, Kresna kembali menyahut, “Hampir semua Jarasanda sudah lenyap. Sekaranglah saat terbaik untuk menghabisinya. Kita tak perlu bertempur habis-habisan bersama para prajurit untuk menaklukkannya. Kita tantang untuk berperang tanding, dengan atau tanpa senjata.”
***

Strategi dan siasat untuk melenyapkan Jarasanda pun didesain dengan cermat. Mereka menyamar sebagai pertapa pengembara yang mengenakan jubah dari kulit kayu. Tangan mereka memegang rumput darbha suci sesuai tradisi yang selama ini berlangsung. Sampai di Magadha, mereka langsung menuju istana Jarasanda.

Sementara itu, di istananya yang megah, Jarasanda diselubungi kegelisahan. Pikirannya berkecamuk. Di layar memorinya terbentang silhuet wajah penguasa yang pernah dibunuhnya. Wajah-wajah yang mengerikan dan menyeramkan tampil berganti-ganti seolah-olah meneror batin dan jiwanya. Di sudut yang lain, Kresna, Bimasena, dan Arjuna yang menyamar sebagai pendeta memasuki istana tanpa bersenjata. Jarasanda menerima mereka dengan baik, lebih-lebih setelah melihat sikap dan penampilan mereka yang menunjukkan sosok dari keturunan terhormat.

Kresna yang tampil sebagai juru bicara dengan tenang menjawab sapaan Jarasanda kepada Bimasena dan Arjuna, “Saya mewakili mereka berdua yang sedang melakukan ritual tanpa bicara. Baru setelah dini hari nanti mereka boleh bicara.”

Setelah menjamu para tamu agungnya di balairung, Jarasanda kembali ke istananya. Dini hari. Jarasanda kembali ke ruang peristirahatan ketiga tamunya untuk bercakap-cakap dengan mereka. Tiba-tiba ia merasa curiga ketika melihat lecet-lecet bekas tali busur di tangan ketiga tamunya itu, lebih-lebih ketika memperhatikan wajah mereka yang menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka adalah ksatria.

Konon, Jarasanda terkenal karena kekuatan fisiknya yang luar biasa yang dilahirkan dengan dua bagian raga terpisah. Barangsiapa mampu menghantam dan membelah tubuhnya menjadi dua bagin, segenap kekuatannya akan lenyap ibarat sapu lidi yang tercerai-berai. Karena penasaran, tiba Jarasanda menegur ketiga tamunya itu dan meminta mereka berterus terang. Dengan lantang, Kresna menyahut, “Hehe …. kami adalah musuhmu. Kami datang kemari untuk menantangmu bertanding sekarang juga. Silakan pilih salah satu di antara kami.” Kemudian, mereka memperkenalkan diri masing-masing. Jarasanda pun tak kalah lantang, “Kresna, engkau pengecut! Arjuna masih bocah, tapi Bimasena terkenal akan keperkasaannya. Aku pilih dia. Aku akan bertarung melawannya.”

Terjadilah duel seru antara Bimasena dan Jarasanda tanpa senjata. Sebuah pertarungan fisik paling heboh di abad ke-21. Tiga belas hari lamanya mereka bertarung tanpa henti, tanpa jeda. Pada hari ke-14, agaknya Jarasanda mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Kresna memberi isyarat kepada Bimasena bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk membanting Jarasanda ke tanah. Bimasena pun memusatkan tenaganya, menyambar satu kaki Jarasanda, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutar-mutarnya kencang-kencang, lantas dengan sepenuh tenaga menghempaskannya ke tanah hingga tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Lenyaplah Jarasanda yang perkasa itu. Bimasena menarik napas lega, kemudian berteriak lantang menyerukan kemenangannya.

Namun, pertarungan ternyata belum usai. Tiba-tiba saja, kedua belahan tubuh Jarasanda menyatu kembali dan lebih perkasa. Seketika itu juga Jarasanda bangkit dan menyerang Bimasena secepat kilat. Bimasena tercengang. Dalam keadaan tegang, Kresna segera memberi isyarat lagi. Kali ini ia mengacungkan sebatang jerami. Jerami itu dibelahnya menjadi dua, lantas masing-masing belahan dibuang ke arah berlawanan. Bimasena mengerti. Sekali lagi ia mengerahkan tenaganya, menyambar kedua kaki Jarasanda, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutarnya bagai baling-baling, lantas membantingnya dengan keras ke tanah. Berdebum. Tak ayal lagi, tubuh Jarasanda terbelah dua. Dengan tangkas, sebelum kedua belahan itu sempat menyatu, Bimasena mengambilnya dengan kedua tangannya, lalu melemparkannya jauh-jauh ke arah yang berlawanan.

Kini, Jarasanda benar-benar menghembuskan napasnya yang terakhir. Usai bertarung, Kresna, Arjuna, dan Bimasena membebaskan semua tawanan yang hendak dijadikan sebagai tumbal kekuasaan Jarasanda. Para penguasa dari berbagai belahan dunia itu kembali ke negerinya masing-masing setelah mengikuti penobatan putra Jarasanda sebagai penerus tahta negeri Magadha.

Kabar kemenangan itu pun dengan cepat menyebar hingga sampai ke telinga Yudistira. Meskipun demikian, penguasa Amarta itu tak juga sanggup menjawab pertanyaan yang menyerbu dadanya. Akankah gelar Maharajadiraja Sesembahan Agung yang kelak akan disandangnya benar-benar mampu membuat rakyat Amarta menjadi lebih damai dan sejahtera? Akankah kejayaan sebuah bangsa yang dibangun dengan air mata, darah, dan nyawa mampu mewujudkan tatanan hidup yang rukun, damai, bersahabat, dan bebas dari rasa permusuhan, tanpa menumbuhkan dendam berkepanjangan dari anak keturunan pihak-pihak yang berselisih? Yudistira hanya mampu mengelus dada sambil mengambil napas panjang tertahan. (tancep kayon) ***

sumber: http://sawali.info/2011/12/14/ketika-kresna-diselubungi-dendam/

Tinggalkan komentar