Seni Sebagai Alat Penghalus Budi Pekerti


Tawuran antar pelajar sekolah dan kekerasan remaja, terutama di kota besar, nyaris setiap hari kita dengar dari pemberitaan media massa, baik elektronik maupun cetak. Tak jarang pula dalam tawuran antar pelajar tersebut, ada korban yang jatuh, entah hanya luka ringan atau berat, bahkan ada kalanya pula hingga merenggut nyawa.

Sebuah pergeseran nilai telah terjadi di kalangan pelajar dan remaja, yang sudah barang tentu sangat kita sayangkan dan memprihatinkan sekali. Mereka yang diharapkan akan menjadi penerima tongkat estafet untuk kelanjutan pembangunan bangsa dan negera ini, telah menjadi sosok yang beringas dan seakan tidak lagi memiliki budi pekerti.

Sungguh sebuah perubahan yang sama sekali tidak pernah kita inginkan. Namun apa hendak dikata, pergeseran nilai di kalangan anak sekolah dan remaja, sudah terjadi. Mereka seakan tidak lagi miliki kehalusan budi, yang sebenarnya merupakan ciri khas dari keperibadian bangsa ini.

Sekarang pertanyaannya, mengapa pergeseran nilai itu terjadi ?. Bukankah, leluhur kita senantiasa mengajarkan tata karma dan budi pekerti kepada anak cucunya. Tapi mengapa pergeseran nilai itu masih saja terjadi ?.

Ada satu kenderungan yang kerap kita temui setiap ada tawuran yang melibatkan pelajar dan remaja. Kita biasanya hanya suka sibuk mencari biang keladi dari terjadinya tawuran, dan tidak ada yang mau menghubungkan dengan fakta bahwa pendidikan seni makin tergusur dari kurikulum pendidikan.

Profesor Ramesh Ghanta dari India, menyatakan, bahwa bangsa yang menggeser pendidikan seni dari sekolahnya, akan menghasilkan generasi yang memiliki budaya kekerasan di masa depan. Generasi dari bangsa yang sudah tidak mendapatkan pendidikan seni di sekolahnya, sudah kehilangan kepekaan untuk membedakan mana yang baik (indah) dan mana yang buruk (tidak indah).

Pendapat serupa ini juga pernah disampaikan seorang pelukis Hidayat. Dalam Lewat papernya berjudul Seni untuk Meredam Kebrutalan, yang disampaikan pada Sarasehan Seni di Surabaya 1997, dengan tema “Traditional and Modernity”, Hidayat mengemukakan, bahwa peran seni dalam meredam terjadinya kebutralan di kalangan anak muda, sangatlah besar.

Dari ungkapan-ungkapan di atas, barang kali kita benar-benar mau mempertimbangkan adanya penggusuran pendidikan seni dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Pemberian prioritas terhadap pendidikan IPTEK di sekolah, sebisa mungkin tidak sampai mengesampingkan pendidikan seni sebagai alat penghalus budi.                                                                                          Karena pada kenyataan, dengan memprioritaskan IPTEK, budaya kekerasan di kalangan anak muda, bukan semakin berkurang. Sebaliknya, belakangan justru semakin marak, bahkan semakin tidak terkendalikan.

Oleh karenanya, senyampang belum terlalu jauh meninggalkan kehalusan budi sebagai ciri khas keperibadian bangsa ini, ada baiknya pemberian prioritas pada IPTEK dalam kurikulum pendidikan di sekolah, juga disertai dengan pendidikan seni yang cukup. Sehingga ke depan, bangsa ini tidak hanya bisa menghasilkan generasi yang mumpuni dalam hal IPTEK, tapi juga generasi yang memiliki kehalusan budi.(*)

Penulis: Jemari, S.Pd.

sumber: situs talenta.com

Tinggalkan komentar